Perbudakan dan kemerdekaan
adalah dua konsep yang berlawanan: yang satu mencabut martabat manusia,
sementara yang lain memulihkannya. Dalam sejarah panjang umat manusia,
perbudakan telah menjadi simbol kekuasaan yang timpang, ketidakadilan, dan
hilangnya hak asasi. Sebaliknya, kemerdekaan adalah hak dasar yang melekat pada
setiap individu, menjadi fondasi bagi keadilan, kesetaraan, dan martabat.
Perbudakan tidak hanya
berbicara soal rantai dan belenggu fisik, tetapi juga mencerminkan penindasan
psikologis dan sosial. Dalam bentuk modernnya, perbudakan bisa hadir dalam
eksploitasi tenaga kerja, perdagangan manusia, atau sistem sosial-ekonomi yang
menindas. Semua ini menunjukkan bahwa perbudakan bukan sekadar kisah masa
lalu—ia masih membayangi dunia dengan wajah baru.
Sementara itu, kemerdekaan
bukan hanya soal lepas dari penjajahan atau kekuasaan asing. Kemerdekaan adalah
ruang untuk menentukan nasib sendiri, berbicara tanpa takut, bekerja tanpa
paksaan, dan hidup tanpa ketergantungan paksa. Ia adalah kondisi di mana
manusia bisa tumbuh, berpikir, berpendapat dan berkontribusi secara utuh
sebagai individu yang setara.
Membandingkan perbudakan
dengan kemerdekaan sama saja dengan mempertanyakan apakah manusia pantas hidup
sebagai makhluk bebas atau sebagai alat bagi orang lain. Jawabannya seharusnya
tegas: tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan perbudakan dalam bentuk
apa pun. Karena itu, perjuangan melawan segala bentuk perbudakan adalah
perjuangan untuk kemanusiaan itu sendiri.
Kemerdekaan bukan hadiah, ia
adalah hak yang harus diperjuangkan dan dijaga. Dan selama masih ada
bentuk-bentuk perbudakan yang tersisa, tugas moral kita belum selesai. Kerap
kali kita menemukan ketidakadilan yang tidak dapat dijangkau oleh setiap
pejuang dengan dalil moral ataupun Ilahi karena kejahatan, ketidakadilan sering
menguasai dan membelenggu setiap jiwa dalam perbudakan.
Meski Indonesia telah merdeka
secara politik sejak 1945, bentuk-bentuk perbudakan modern masih ada, terutama
dalam sektor-sektor informal yang kurang pengawasan. Sementara itu, kemerdekaan
sebagai hak individu telah berkembang, tapi tetap harus diperjuangkan dan
dijaga agar tidak dikurangi secara perlahan oleh kekuasaan atau ketimpangan
sosial.
Bentuk perbudakan tidak Selalu
Fisik, tapi bisa Spiritual dan Struktural. Dalam konteks Gereja Katolik dan
komunitas biara, perbudakan tidak selalu berbentuk eksploitasi fisik, tetapi
bisa hadir dalam bentuk: Perbudakan batiniah atau spiritual yang bisa saja
disebabkan oleh ketertutupan hati akan segala keterbatasan diri, refleksi yang
kurang mendalam yang menyebabkan masalah yang sama terus terjadi dan berulang.
Tidak ada usaha yang sungguh mendalam menuju transformasi diri yang membebaskan
sehingga rantai dan luka terus membelenggu diri, komunitas dan karya pelayanan.
Kemerdekaan Sejati: Hidup
sebagai Anak-Anak Allah. Dalam Gereja Katolik, kemerdekaan sejati
bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja, tapi kebebasan untuk melakukan
kebaikan dalam kasih. Dalam komunitas religius, ini berarti: Ketaatan yang
dewasa, di mana anggota mengikuti pemimpin bukan karena takut, tapi karena
cinta dan kepercayaan. Kesetaraan dalam Kristus, di mana setiap anggota, entah
tua atau muda, diakui martabatnya sebagai pribadi yang dikasihi Allah. Kesediaan
untuk mendengarkan dan berdialog, agar komunitas menjadi ruang pertumbuhan
bersama. Kemerdekaan dalam komunitas religius bukan berarti hidup tanpa aturan,
tetapi hidup dengan kesadaran penuh akan pilihan panggilan, dalam semangat
kasih, pelayanan, dan pengorbanan.
Kristus: Jalan dari
Perbudakan Menuju Kemerdekaan. Yesus sendiri datang untuk "membebaskan
orang yang tertawan" (Luk 4:18). Maka, misi Gereja dan komunitas religius
adalah: Membebaskan manusia dari belenggu dosa dan struktur yang menindas. Menjadi
saksi kemerdekaan Injil, yang bukan sekadar kebebasan sosial-politik, tetapi
pembebasan batin yang membawa damai dan sukacita.
Gereja yang Memerdekakan,
Komunitas yang Membebaskan. Gereja dan komunitas biara dipanggil
untuk tidak menciptakan struktur perbudakan baru, melainkan menjadi tempat di
mana manusia mengalami kemerdekaan sejati dalam Kristus: bebas untuk mencintai,
untuk melayani, dan untuk menjadi diri sendiri sesuai kehendak Allah. Setiap
bentuk otoritas haruslah membebaskan, bukan menekan. Dan setiap anggota
komunitas harus dibimbing untuk taat dalam kebebasan, dan bebas dalam ketaatan.***
(Sr. Ika, SSpS)