(0382) 23726, +62 813-3932-6340
PERBUDAKAN VERSUS KEMERDEKAAN

PERBUDAKAN VERSUS KEMERDEKAAN

  • Kategori: Artikel
  • Tanggal 12-08-2025


Perbudakan dan kemerdekaan adalah dua konsep yang berlawanan: yang satu mencabut martabat manusia, sementara yang lain memulihkannya. Dalam sejarah panjang umat manusia, perbudakan telah menjadi simbol kekuasaan yang timpang, ketidakadilan, dan hilangnya hak asasi. Sebaliknya, kemerdekaan adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu, menjadi fondasi bagi keadilan, kesetaraan, dan martabat.

Perbudakan tidak hanya berbicara soal rantai dan belenggu fisik, tetapi juga mencerminkan penindasan psikologis dan sosial. Dalam bentuk modernnya, perbudakan bisa hadir dalam eksploitasi tenaga kerja, perdagangan manusia, atau sistem sosial-ekonomi yang menindas. Semua ini menunjukkan bahwa perbudakan bukan sekadar kisah masa lalu—ia masih membayangi dunia dengan wajah baru.

Sementara itu, kemerdekaan bukan hanya soal lepas dari penjajahan atau kekuasaan asing. Kemerdekaan adalah ruang untuk menentukan nasib sendiri, berbicara tanpa takut, bekerja tanpa paksaan, dan hidup tanpa ketergantungan paksa. Ia adalah kondisi di mana manusia bisa tumbuh, berpikir, berpendapat dan berkontribusi secara utuh sebagai individu yang setara.

Membandingkan perbudakan dengan kemerdekaan sama saja dengan mempertanyakan apakah manusia pantas hidup sebagai makhluk bebas atau sebagai alat bagi orang lain. Jawabannya seharusnya tegas: tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan perbudakan dalam bentuk apa pun. Karena itu, perjuangan melawan segala bentuk perbudakan adalah perjuangan untuk kemanusiaan itu sendiri.

Kemerdekaan bukan hadiah, ia adalah hak yang harus diperjuangkan dan dijaga. Dan selama masih ada bentuk-bentuk perbudakan yang tersisa, tugas moral kita belum selesai. Kerap kali kita menemukan ketidakadilan yang tidak dapat dijangkau oleh setiap pejuang dengan dalil moral ataupun Ilahi karena kejahatan, ketidakadilan sering menguasai dan membelenggu setiap jiwa dalam perbudakan.

Meski Indonesia telah merdeka secara politik sejak 1945, bentuk-bentuk perbudakan modern masih ada, terutama dalam sektor-sektor informal yang kurang pengawasan. Sementara itu, kemerdekaan sebagai hak individu telah berkembang, tapi tetap harus diperjuangkan dan dijaga agar tidak dikurangi secara perlahan oleh kekuasaan atau ketimpangan sosial.

Bentuk perbudakan tidak Selalu Fisik, tapi bisa Spiritual dan Struktural. Dalam konteks Gereja Katolik dan komunitas biara, perbudakan tidak selalu berbentuk eksploitasi fisik, tetapi bisa hadir dalam bentuk: Perbudakan batiniah atau spiritual yang bisa saja disebabkan oleh ketertutupan hati akan segala keterbatasan diri, refleksi yang kurang mendalam yang menyebabkan masalah yang sama terus terjadi dan berulang. Tidak ada usaha yang sungguh mendalam menuju transformasi diri yang membebaskan sehingga rantai dan luka terus membelenggu diri, komunitas dan karya pelayanan.

Kemerdekaan Sejati: Hidup sebagai Anak-Anak Allah. Dalam Gereja Katolik, kemerdekaan sejati bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja, tapi kebebasan untuk melakukan kebaikan dalam kasih. Dalam komunitas religius, ini berarti: Ketaatan yang dewasa, di mana anggota mengikuti pemimpin bukan karena takut, tapi karena cinta dan kepercayaan. Kesetaraan dalam Kristus, di mana setiap anggota, entah tua atau muda, diakui martabatnya sebagai pribadi yang dikasihi Allah. Kesediaan untuk mendengarkan dan berdialog, agar komunitas menjadi ruang pertumbuhan bersama. Kemerdekaan dalam komunitas religius bukan berarti hidup tanpa aturan, tetapi hidup dengan kesadaran penuh akan pilihan panggilan, dalam semangat kasih, pelayanan, dan pengorbanan.

Kristus: Jalan dari Perbudakan Menuju Kemerdekaan. Yesus sendiri datang untuk "membebaskan orang yang tertawan" (Luk 4:18). Maka, misi Gereja dan komunitas religius adalah: Membebaskan manusia dari belenggu dosa dan struktur yang menindas. Menjadi saksi kemerdekaan Injil, yang bukan sekadar kebebasan sosial-politik, tetapi pembebasan batin yang membawa damai dan sukacita.

Gereja yang Memerdekakan, Komunitas yang Membebaskan. Gereja dan komunitas biara dipanggil untuk tidak menciptakan struktur perbudakan baru, melainkan menjadi tempat di mana manusia mengalami kemerdekaan sejati dalam Kristus: bebas untuk mencintai, untuk melayani, dan untuk menjadi diri sendiri sesuai kehendak Allah. Setiap bentuk otoritas haruslah membebaskan, bukan menekan. Dan setiap anggota komunitas harus dibimbing untuk taat dalam kebebasan, dan bebas dalam ketaatan.***

(Sr. Ika, SSpS)

Bagikan

Komentar