(Penulis: Ando Roja Sola, SVD) |
Pengantar
Perkara kekerasan seksual hingga saat ini menjadi tema yang cukup familiar dibicangkan dalam berbagai rana diskusi. Pergolakan zaman yang kian modern membentuk manusia menjadi pribadi “yang serba bisa” dalam segala hal. Persoalan utama yang dibicangkan tersebut melebur bahkan membentuk suatu mata rantai yang sulit dibekukan. Pada titik ini manusia tergiring pada tatanan zaman yang menuntut sikap waspada dan jaga diri. Pertanyaan mendasar yang baik untuk direfeleksikan, kemanakah arah manusia digiring dengan tetap menjaga ingritas dirinya sebagai mahkluk yang bermoral? Berangkat dari pertanyaan reflektif dan persoalan global yang marak terjadi ini, mari kita mengungkit keprihatinan moral yang semakin terpuruk.
Fenomena Kasus Seksual yang Mengerikan
Tanpa bermaksud mengidentifikasi perkembangan kasus seksual secara spesifik di Kabupaten Sikka, kita berusaha mencari dan menemukan pokok persoalan yang memungkinkan terjadinya praktik-praktik mengerikan yang selama ini terjadi secara khusus yang berkaitan dengan kasus seksual. pada konteks ini terlebih dahulu kita berkenalan dengan sebuah lembaga yang berperan memperjuangakan hak perempuan dan anak.
Pada 6 November 1997 berdiri sebuah lembaga otonomi yang diprakarsai oleh para suster Abdi Roh Kudus (SSpS) di Maumere kabupaten Sikka. Sejak berdirinya, lembaga ini menamai dirinya dengan sebutan Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan dengan fokus pelayanan kepada perlindungan anak dan perempuan. Lembaga ini dengan apik dan berani menekan fenomena kekerasan terhadap anak dan perempuan salah satunya kasus seksual yang dialami oleh anak dan perempuan. Berdasarkan dokumentasi data kasus, TRUK sudah menangani berbagai kasus yang mengorbankan anak dan perempuan seperti tindak perdagangan orang, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dan masih banyak kasus lainnya yang mengorbankan anak dan perempuan. Hingga dalam perjalanan pelayanannya pada usia 25 tahun yang akan dirayakan pada tanggal 6 November 2022, Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan masih gencar memecahakan persoalan yang mengorbankan hak perempuan dan anak.
Pada catatan kuantitas kasus yang didatakan oleh TIM TRUK, terdapat 2. 691 korban yang dicatat sejak tahun 2000 hingga Juni 2022. Jumlah 2. 691 korban ini pada umumnya mengalami kasus kekerasan seksual, perdagangan orang dan kekerasan dalam rumah tangga dengan locus kejadiannya di wilayah kabupaten Sikka dan kabupaten Ende. Selanjutnya dari tahun 2021 hingaa Juni 2022 terdapat 167 kasus yang mencakup kasus kekerasan seksual dan perdagangan orang. Pada bulan Januari sampai Juni tahun 2022 tercatat 2 kasus difabel yang pelakunya adalah keluarga dekat sendiri. Hingga pada pertengahan Juni 2021 kemarin masyarakat kabupaten Sikka kembali dikejutkan oleh kasus 17 anak di bawah umur yang dipekerjakan di pub-pub. Menurut Tim TRUK, kasus ini sudah dibahas sampai level pusat tetapi masih mengalami “kendala dan kemacetan” sehingga sampai saat ini masih menunggu informasi kelanjutannya.
Berdasarkan data yang ditampilkan, perkembangan kasus demi kasus semakian mencuat ke permukaan dan tanpa rasa kesadaran yang tinggi kita terbuai dalam fenomena yang bobrok ini. Tidak terlepas dari catatan kasus yang berhasil didatakan, sebenarnya masih banyak lagi kasus yang tidak sempat dicatat akibat respon masyarakat yang kurang baik, dalam hal kerja sama untuk melaporkan kasus-kasus. Pantaslah ini kita sebut dengan fenomena kasus karena sudah merambat sampai ke pelosok desa tetapi masih dianggap biasa-biasa saja.
Fenomena Kasus Seksual sebagai Tantangan Moral
Pada tatanan ini kita mendalami fenoemena kasus berdasarkan sudut pandang moral. Moral selalu berkaitan dengan tindak perilaku manusia berdasarkan kebenaran normatif yang diakui secara universal. Itu berarti untuk mengatakan bermoral atau tidak, tepatnya bertolak pada satu kesatuan kebenaran yang terikat dalam hal ini kebenaran umum. Meskipun demikian pehaman tetang moral tidak selalu mati pada defenisi konseptualnya, tetapi bertalian langsung dengan pola kehidupan setiap pribadi yang memaknainya. Hal ini memungkinkan seseorang untuk membentuk dirinya sesuai dengan norma umum yang berkembang. Perbuatan seseorang dikatakan bermoral atau tidak jika bisa mengimbangi berbagai pengakuan yang lazim diakui oleh sekelompok masyarakat sosial. Berdasarkan gambaran konseptual tantang moral, kita kembali menilik kasus kekerasan seksual yang semakin hari semakin mejadi-jadi di wilayah kabupaten Sikka tercinta ini.
Kita selalu percaya bahwa masyarakat Sikka memiliki tatanan moral yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bersama. Tatanan moral yang dibentuk, tidak saja karena buah pikiran yang ideal tetapi lebih kepada warisan nilai-nilai kehidupan yang sudah diturunkan sejak dahulu. Hal ini menekankan aspek penghargaan terhadap nilai-nilai luhur yang pada dasarnya membentuk dan mengatur ritme tingkah laku dan perbuatan orang-orang Nian Tana Sikka. Sebagai masyarakat yang dibesarkan dalam tatanan nilai-nilai moral, sebenarnya menjadi kebanggan yang mesti dijaga dan dipelihara.
Berangkat dari kecemasan kolektif para pemerhati kemanusiaan, kita digiring untuk melihat rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kabupaten Sikka ini. Peningkatan kasus yang begitu cepat dan meluas menjadi penyakit sosial yang mengganggu hati nurani penghuni wilayah kabupaten ini. Nampakanya hal ini menjadi rahasia umum yang berkembang dengan pesatnya tetapi seolah-olah tidak disadari. Hal ini menjadi bukti yang tegas bahwa, tatanan moral yang pada mulanya apik dan kuat pelan-pelan mengalami kemunduran bahkan bisa saja mati jika tidak ditanggapi secara serius. Berhadapan dengan realitas ini, masihkan kita berbangga karena kita dihidupi dalam lingkungan yang taat pada nilai dan tatanan moral? Jawaban YA, jika kita bisa mengobati penyakit yang mengerikan ini.
Peningkatan kasus seksual secara khusus terhadap anak dan perempuan dikatakan sebagai fenomena karena tindakan ini sudah mencapai tingkat luar biasa. Perlakuan para oknum secara bengis mengakibatkan runtuhnya nilai-niali moral yang sebenarnya menjadi landasan untuk hidup yang beradab. Pada konteks ini penghayatan terhadap nilai-nilai moral sudah mengalami pergeseran ke arah yang tak bisa dikendalikan. Tatanan moral medapat tantangan yang cukup serius karena praktik sosial yang dikonkretkan dalam perilaku kekerasan seksual. Secara hukum normatif kita semua tahu bahwa tindakan ini melanggar hukum, tetapi tetap saja kejadian ini malah berkembang dengan sangat ngerinya. Bisa saja kita katakan bahwa, hukum dan undang-undang kehilangan andil untuk melenyapkan kasus ini. Belum lagi kita mengorek kasus-kasus lain seperti, munculnya jejaring pekerja seks di bawah umur yang mungkin sudah berkembang namun belum diketahui oleh publik, kasus perdagangan orang yang dilakukan secara diam-diam, dan kasus tindakan kekerasan anak di bawah umur. Jika muncul lagi fenomena kasus seperti yang disebutkan, maka tepatlah kita katakan bahwa, tatanan moral dan segala kekayaannya hanya menjadi slogan yang digunakan untuk iklan semata. Selanjutnya apa yang mesti kita lakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita selalu paham bahwa setiap pribadi yang menetap di tanah Sikka ini memiliki argumen pribadi yang cukup kuat. Tanpa mengabaikan segala bentuk tanggapan ini, marilah kita memberikan beberapa masukan untuk para pemerhati kemanusiaan yang tidak lain adalah masyarakat wilayah kabupaten Sikka sendiri.
Keluarga sebagai Ruang Pendidikan Moral
Keluarga sebagai lembaga pendidikan formal pada dasarnya berkewajiban mendidik dan membina anak untuk menjadi baik. Itu berarti tanggung jawa sebagai ayah dan ibu tidak saja sebatas memberikan asupan gizi yang cukup, tetapi lebih dari itu memberikan wejangan berupa nilai-nilai moral yang berguna bagi masa depan anak. Berdasarkan data yang disebutkan sebelumnya, bahwa lembaga TRUK sering menerima laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi dalam keluarga sendiri. Hal ini menunjukan bahwa peran keluarga sebagai penanggung jawab utama kian kabur bahkan hampir mati. Pertanyaannya, bagaimanakah peran keluarga yang sesunggunya agar anak tidak jatuh dalam kasus-kasus seperti ini? Keluarga sebagai media sosialisasi utama, hendaknya menekannya ketertiban penggunaan media elektronik kepada anak. Perkembangan zaman yang semakin modern membuka peluang yang besar bagi anak untuk mengakes dengan bebas video, gambar dan bacaan-bacaan yang tidak layak untuk mereka. Selain itu perlu adanya fungsi kontrol yang intens kepada anak-anak saat mereka mualai belajar menjalin relasi dengan sahabat dan kenalannya. Peran orang tua sebenarnya menjadi tameng utama agar anak tidak masuk dalam perkara kasus seksual yang semakin panas ini.
Lembaga Pendidikan sebagai Pengasuh Ilmu Pengetahuan
Sekolah sebagai media transformasi ilmu pengetahuan berkewajiban mendidik anak secara formal dengan tujuan menjamin masa depan para peserta didik. Kebanyakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di wilayah kabupaten Sikka terjadi pada anak-anak usia sekolah. Hal ini menjadi indikasi yang cukup kuat, bahwa peran sekolah sebagai lembaga pendidikan belum cukup kuat dalam pembetukan karakter dan daya berpikir para peserta didik yang kritis. Baiklah poin ini menjadi sentilan untuk menguatkan kembali peran sekolah sebagai ruang pembelajaran para peserta didik di wilayah kabupaten Sikka.
Pemerintah dan Lembaga Penegak Hukum
Amat layak dan pantaslah kita kembali mengevaluasi kinerja para pemegang tampuk kepemimpinan ini. Setelah sekian banyak kasus yang dihadapi dan proses penyelesaian kasus yang masih berjalan, peningkatan kasus pelecehan dan kekerasan seksual makin menjadi-jadi. Tindakan pengamanan dan pemberatasan kasus sering kali berjalan terkatung-katung seperti menebak jawaban pertanyaan tekateki. Kita ambil contoh konkret yakni, masih terdapat praktik-praktik hiburan malam yang dibiarkan secara legal di pub-pub terdekat. Kita tidak mengetahui dengan jelas apakah izinan untuk mendirikan pub hanya untuk hiburan semata atau ada aktivitas lain yang dilakukan didalamnya. Hal ini hendaknya menjadi fokus perhatian yang lebih serius. Selain itu, seluruh masyarakat Sikka pasti mengetahui dengan jelas tentang kasus 17 anak yang menjadi korban perdagangan orang untuk kepetingan eksploitasi seksual empat pub di kota Maumere dengan penyelesaian kasus yang masih belum usai.
Sebagaimana dilaporkan oleh Sr. Ika, SSpS, Koordinator Divisi Perempuan TRUK dalam media Wahana News NTT pada 18 Agustus 2022 lalu bahwa, Divisi Perempuan TRUK dan jaringan HAM Sikka telah bertemu dengan Bareskrim Polri pada 23 Maret 2022 dengan tujuan meminta Bareskrim Polri mengambil alih kasus ini hingga tuntas. Selanjutnya pada tanggal 24 Maret 2022 tim melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI dengan tujuan meminta mengkawal kasus ini hingga usai. Namun desakan kemanusiaan ini rupaya belum direspon dengan baik, sehingga proses penanganannya masih “digantung”. Kita berharap tanggung jawab ini bukan dijalankan atas kepentingan tertentu tetapi demi prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Masyarakat Sikka sebagai Aktor Moral
Sejak 1 Maret 1958 kabupaten Sikka berdiri dengan masyarakatnya yang sangat mencintai nilai-nilai kebudayaan. Bahkan lama sebelum itu, kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan moral sudah menjadi habitus sosial. Orang-orang Sikka menyadari dirinya sebagai aktor moral saat menata tingkah laku dan perbuatannya setiap hari. Kita memberikan apresiasi yang mulia atas kesetiaannya menjaga dan melestarikan nilai-nilai moral hingga saat ini. Suatu kebanggaan tersendiri jika kita dibesarkan pada lingkungan yang sangat kental akan nilai-nilai moral. Sejak awal kita diperkenalkan dengan norma-norma yang diakui secara bersama sebagai patokan dalam berperilaku dan bertindak. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai moral yang dihayati sudah menjadi akar dan pastinya menjadi kekuatan bagi mayarakat Sikka sendiri.
Sebagai aktor moral masyarakat Sikka sepatutnya merasakan suatu gejala yang mengancam nilai-nilai moral. Gejala-gejala yang mulai muncul jika dibiarkan begitu saja tanpa kesadaran yang aktif, akan mengakibatkan kekacauan pada tatanan hidup secara khusus dalam penghayatan nilai-nilai moral. Gejala-gejala yang dimaksud secara garis lurus menjurus pada tindakan-tindakan yang melenceng jauh dari nilai-nilai moral, seperti kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, pelecehan seksual yang mengorbankan kaum perempuan, kekerasan seksual dalam rumah tangga, tindakan perdagangan orang, dan kerja sama gelap untuk kepentingan eksploitasi seks. Sangat disayangkan jika praktik-praktik amoral ini berkembang dengan bebasnya di tengah lingkungan. Hendaknya kesadaran sebagai aktor moral tidak menjadi suatu kebanggaan semu, tetapi menjadi landasan dasar yang dipraktikan secara nyata dan aktual. Oleh karena itu kita sepakat bahwa seluruh masyarakat Sikka memiliki tanggung jawab moral untuk mengobati situasi chaos saat ini.
Kesimpulan
Pada akhirnya kita semua secara khusus masyarakat kabupaten Sikka diajak untuk bersama-sama mengembalikan eksistensi dirinya sebagi aktor moral. Kesadaran untuk melihat kasus seksual sebagai tantangan moral, perlu dipraktikan dalam tindakan dan perbuatan nyata. Selain itu harus membagun habitus moral yang mendorong anak-anak untuk lebih peka dan kritis terhadap tantangan zaman. Hal ini menjadi harapan yang memerlukan tanggapan positif dan aktif dari masyakat Nian Tana Sikka.